Bahagia vs Celaka
Sesungguhnya
kenikmatan yang diberikan Allāh kepada
hamba-hambaNya, baik berupa ilmu pengetahuan, harta, kedudukan, kekuasaan, dan
sebagainya merupakan cobaan dan ujian dari Allāh subhanahu wa ta'ala kepada
hamba-hambaNya. Sebagaimana Allāh menguji hambaNya
dengan suatu musibah, begitu pula Dia menguji hambaNya dengan suatu kenikmatan.
Dengan ujian dan
cobaan tersebut dapat diketahui hamba yang bersyukur dan hamba yang kufur,
hamba yang bahagia dan hamba yang celaka.
Allāh subhanahu
wa ta'ala berfirman tentang
Nabi-Nya Sulaiman ketika melihat singgasana Balqis di hadapannya,
"Ini termasuk karunia Rabbku untuk mengujiku
apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya)”. (Q.S An-Naml:
40)
Allāh subhanahu
wa ta'ala berfirman yang artinya,
“Adapun manusia apabila
Tuhannya mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kesenangan, maka dia
berkata: "Tuhanku telah memuliakan-ku". Namun apabila Tuhannya
menguji- nya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata: "Tuhanku menghinakanku". (Q.S Al-Fajr : 15-16)
Yakni, tidak setiap hamba yang
dilapangkan rizkinya dan diberi kesenangan merupakan kemuliaan dari Allāh
baginya. Dan tidak setiap hamba yang Allāh sempitkan rizkinya dan
ditimpa musibah merupakan kehinaan Allāh baginya, akan tetapi
sebenarnya kekayaan dan kemiskinan adalah ujian dari Allāh subhanahu
wa ta'ala bagi hamba-hamba-Nya.
Ibnu Al-Qayyim berkata,
”Di antara ciri-ciri kebahagiaan dan kemenangan seorang hamba adalah
bila ilmu pengetahuannya bertambah,
bertambah pula kerendahan hati dan kasih
sayangnya.
Setiap bertambah amal-amal shalih yang dilakukan,
bertambah pula rasa takut dan kehati-hatiannya dalam menjalan- kan perintah Allāh.
Semakin bertambah usianya, semakin berkuranglah
ambisi-ambisi keduniaannya.
Ketika bertambah hartanya, bertambah pula
kedermawanan dan pemberianya kepada sesama.
Jika bertambah tinggi ke- mampuan dan kedudukannya,
bertambahlah kedekatannya pada manusia dan semakin rendah hati kepada mereka.
Dan di antara ciri-ciri kecelakaan adalah ketika bertambah ilmu
pengetahuannya, semakin bertambah kesombongannya.
Setiap bertambah amalnya, kian bertambah
kebanggaannya pada diri sendiri dan penghinaan-
nya pada orang lain.
Semakin bertambah kemampuan
dan kedudukannya, semakin bertambah pula kesombongannya.”
Perkara-perkara tersebut merupa- kan ujian dan
cobaan dari Allāh subhanahu
wa ta'ala terhadap hamba-hambaNya. Oleh karena itu, mari kita
mengevaluasi diri, Apakah kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang
menang dan bahagia ataukah orang yang celaka?
Karena mengenali
diri merupakan hal yang sangat penting. Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam mengajarkan kepada kita untuk lebih banyak
mengevaluasi diri sendiri daripada mengevaluasi orang lain. Sebagaimana
sabdanya,
الكَيِّسُ
مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ المَوْتِ، وَالعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ
نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ. رواه الترمذي
“Orang yang pandai adalah yang menghisab
(mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian.
Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa
nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah subhanahu wa ta'ala.” [H.R At-Tirmidzi (2459), ia berkata, hadits hasan.]
nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah subhanahu wa ta'ala.” [H.R At-Tirmidzi (2459), ia berkata, hadits hasan.]
Umar bin Khattab radhiallahu
'anhu berkata,
حَاسِبُوا
أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَتَزَيَّنُوا لِلْعَرْضِ الأَكْبَرِ،
وَإِنَّمَا يَخِفُّ الحِسَابُ يَوْمَ القِيَامَةِ عَلَى مَنْ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِي
الدُّنْيَا.
“Hisablah (evaluasilah) diri
kalian sebelum kalian dihisab dan
berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab itu hanya akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab (mengevaluasi) dirinya di dunia.”
berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab itu hanya akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab (mengevaluasi) dirinya di dunia.”
Sementara Maimun bin Mihran mengatakan,
لاَ
يَكُونُ العَبْدُ تَقِيًّا حَتَّى يُحَاسِبَ نَفْسَهُ كَمَا يُحَاسِبُ شَرِيكَهُ
مِنْ أَيْنَ مَطْعَمُهُ وَمَلْبَسُهُ
“Seorang hamba tidak dikatakan bertakwa hingga
ia menghisab
dirinya sebagaimana dihisab temannya darimana makanan
dan pakaiannya .”
dirinya sebagaimana dihisab temannya darimana makanan
dan pakaiannya .”
Begitu juga Ibnu Al-Qayyim
berkata,
Barangsiapa yang mengenal dirinya, ia akan sibuk
untuk memperbaiki diri daripada sibuk mencari-cari aib dan kesalahan orang
lain.
Semoga Allāh membimbing hati
dan langkah kita untuk tetap memiliki karakter orang-orang yang bahagia. Dan
semoga Allāh menjauhkan hati
kita dari karakter orang-orang yang terpedaya oleh ilmu, amal dan kemampuannya
yang dapat menjerumuskan kita kedalam golongan orang yang celaka.
(Dikutip dan diterjemahkan dari kitab Al-Fawaid karya
ibnu Qayyim Al-Jauziyah, cet. Daru Ibnu Al-Jauzi, hlm. 168 dengan sedikit
tambahan dan perubahan)
Assalamualaikum, artikel yang sangat menyentuh.
ReplyDeleteOya akhi, Afwan, Blog nya agak telat dikit siapnya, insya Allah dalam waktu dekat akan segera selesai dengan izin Allah, :)